Sudah Benarkah Manajemen Keuangan Kita?

Ada satu materi menarik yang saya dan teman-teman kantor dapatkan dalam rangkaian acara Capacity Building beberapa bulan yang lalu yaitu tentang Manajemen Keuangan. Materi ini terasa begitu berbeda bagi kami yang biasanya hanya mendapatkan materi seputar kegiatan kantor. Materi Manajemen Keuangan ini disampaikan oleh pakar Financial Planner yang bernama Leo Akbar. Beliau sudah punya banyak pengalaman di bidang finansial. Beliau juga sering bekerjasama dengan tokoh keuangan terkenal, Ahmad Ghozali.

Penyampaian yang atraktif dan materi yang menarik sungguh lengkap disajikan dalam satu sesi tersebut. Semua peserta memperhatikan dengan seksama setiap penjelasan yang diberikan oleh Pak Leo. Sampai-sampai, waktu satu sesi dirasa masih kurang untuk menjawab pertanyaan dari teman-teman semua. 

Penjelasan beliau diawali dengan topik mengenai pola pikir jadul dalam mengatur keuangan rumah tangga. Dimana biaya hidup menjadi prioritas pertama. Barulah pengeluaran-pengeluaran yang lainnya seperti untuk cicilan hutang, kewajiban agama/sosial, dan yang terakhir menabung. Menabung dijadikan prioritas terakhir yang kadang kala jika tidak ada sisa, maka tidak jadi menabung. Inilah pola manajemen keuangan yang diterapkan oleh sebagian besar orang saat ini. Tak dapat dipungkiri, bagi sebagian orang pola ini menjadi kacau balau ketika kebutuhan hidup membengkak atau ada kebutuhan mendesak. Pada akhirnya, kembali lagi harus berhutang. Gali lubang tutup lubang. Jangankan untuk menabung, untuk membiayai kebutuhan sehari-hari saja tidak cukup.

Lalu, bagaimana seharusnya mengatur keuangan? Yang pertama adalah prioritaskan kewajiban utama kita. Apa kewajiban utama kita? Tentu saja, hubungan kita dengan Allah. Jadi, prioritas utama kita adalah membayar zakat. Kemudian yang kedua masih tentang kewajiban yaitu membayar hutang dan cicilan. Jika kewajiban telah terpenuhi, baru kita melangkah ke prioritas ke tiga. 

Ooh, jadi, prioritas ketiganya untuk memenuhi biaya hidup ya? Bukan! Prioritas ketiganya adalah menabung atau investasi. Setelah ketiga pos tadi terpenuhi, barulah kita memikirkan biaya hidup. Kok bisa? Jadi biaya hidup hanya menggunakan uang sisa? Yup, betul sekali. Kenapa bisa demikian? Karena biaya hidup bisa dinegosiasikan. Misalnya, kita punya uang 500 ribu dan ingin beli baju. Kita bisa bernegosiasi untuk membeli baju seharga 200 ribu saja. Tidak harus memaksakan diri beli baju 500 ribu dan akhirnya uang kita habis. Okay, itu kalau baju. Bagaimana dengan biaya sekolah anak? Bukankan itu biaya yang harus tersedia. Uang sekolah pun bisa dinegosiasikan. Ketika memilih sekolah, tentu saja kita harus mengukur kemampuan kita. Kalau kita tidak mampu dengan SPP sebulan 1 juta, ya kita pilih saja sekolah dengan SPP 500 ribu per bulan. Dengan berbagai pertimbangan dari segi kualitas dan fasilitas sekolah. Artinya itu semua bisa dikompromikan dan dinegosiasikan.

Diskusi bersama Pak Leo berlanjut hingga ke pembahasan bisnis dan investasi. Beliau sendiri seorang praktisi yang sudah memiliki beberapa perusahaan. Saya berharap dapat berdiskusi lebih lama lagi dengan beliau. Namun, waktu yang diberikan oleh panitia sangatlah terbatas. Semoga di lain waktu, kami diberi kesempatan untuk berdiskusi lebih lanjut tentang finansial. Terima kasih atas ilmunya, Pak Leo. 

#PerempuanBPSMenulis
#MenulisAsyikDanBahagia
#15HariBercerita
#HariKe6

No comments:

Post a Comment

My Instagram